Perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement antara China dan 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diteken pada 29 Nopember 2004 di Laos.
Setiap negara diwakili oleh menteri perdagangan mereka. China diwakili Bo Xilai dan Indonesia diwakili Mari Elka Pangestu. FTA merupakan kelanjutan dari kesepakatan kerja sama perdagangan internasional yang telah diikuti Indonesia sejak era General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tahun 1994. FTA regional kerap dilegitimasi sebagai jalan tengah yang ditempuh di tengah-tengah kemacetan Putaran Doha.
FTA ASEAN-China intinya berisi kesepakatan negara-negara penanda tangan untuk membuka pasar seluas-luasnya terhadap produk-produk yang berasal dari China. Caranya dengan meniadakan hambatan tarif yang tercermin dalam penurunan sampai pembebasan bea masuk. Potensi pasar China dengan 1,5 miliar penduduk terlihat menggiurkan. Tentu dengan catatan, industrinya siap berkompetisi.
Sesuai dokumen yang ditandatangani, kerja sama itu berlaku effektif mulai 2005. Negara penanda tangan kesepakatan sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyiapkan pasar dan industri di dalam negerinya dari dampak persaingan bebas ketika FTA diterapkan. Hal itu tercantum dalam Pasal 9 perjanjian tersebut. Dalam pasal 9 Ayat 1 disebutkan, “ Each Party which is WTO member, retain its rights and obligations under Article XIX of the GATT 1994 and the WTO Agreement on Safeguards”.
Safeguards adalah mekanisme yang bisa digunakan oleh anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan bebas, terutama dari serbuan produk yang sengaja dihargai terlalu murah (dumping) maupun produk yang di negara asalnya menapat subsidi. Mekanismenya bisa melalui penerapan bea masuk impor yang sangat tinggi untuk produk tertentu sampai ke pelarangan impor. Namun, mekanisme proteksi ini hanya dapat diperlakukan sementara sampai produk atau industri yang spesifik yang dilindungi itu bisa bersaing dengan produk impor.
Dalam kasus FTA ASEAN-China, proteksi terhadap industri di dalam negeri dapat dilakukan sampai perjanjian berlaku penuh pada 1 Januari 2010. Hal itu tertuang dalam Pasal 9 Ayat 2 : “ With regard to ACFTA safeguard measures, a party shall have the right to initiate such a measure on a product within the transition period for that product. The transition period for a product shall begin from the day of entry into force of this agreement and end five years from the date of completion of tariff elimination or reduction for that product”.
Pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan sejak naskah FTA ditandatangani hingga akan berlaku effektif pada 1 Januari 2010 ?
Jauh sebelum FTA diteken, produk-prodik China bahkan sudah dengan sangat leluasa masuk dan merajai pasar Indonesia. Sebagian besar adalah produk-produk industri manufaktur, seperti tekstil dan produk tekstil, sepatu, plastik, yang mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Maka, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai permintaan penundaan pemberlakuan FTA dengan China semata sikap nasionalisme sempit dari sebagian kalangan yang tidak siap bersaing, sebenarnya ia telah melupakan peran negara.
Daya saing
Kalangan industri telah berulang kali mengemukakan bahwa rendahnya daya saing industri disebabkan oleh permasalahan seperti keterbatasan suplai energi dan biaya yang tidak bersaing, sistem dan aturan ketenagakerjaan tidak terkait produktivitas, infrastruktur jalan dan pelabuhan, prosedur kepabeanan serta kinerja birokrasi yang menghambat arus barang, akses pendanaan terbatas dan bunga kredit yang tidak bersaing, hingga persaingan pasar yang tidak fair. Dengan belum adanya perbaikan yang berarti di sisi kebijakan pemerintah, pelaku industri, terutama industri manufaktur, jauh-jauh hari telah merekomendasikan peninjauan ulang semua FTA yang telah diteken pemerintah.
“ Bagaimanakah mau bersaing dengan China, di sana ada kredit ekspor, rabat sampai 17 persen, listrik murah, tempat usaha dibantu, upah dikontrol, ada balai latihan kerja, dibuatkan kluster industri yang didukung pusat dan daerah, bukan hanya untuk urusan bahan baku, tetapi juga promosinya, “ kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko.
Menurut Eddy, ketika baru akan membangun pabrik pun, pengusaha lokal sudah harus menghadapi kesulitan perizinan di pusat dan daerah. “ Industri kita dihadapkan pada prosedur birokrasi yang luar biasa. Kalau dihitung, bisa 60 meja, tuh. One stop service yang dijanjikan pemerintah tidak pernah terjadi. Proses perizinan di Badan Koordinasi Penanaman Modal bisa sampai enam bulan. Begitu pabrik berdiri, pemerintah daerah mengeluarkan berbagai perda pungutan,” ujarnya.
Belum lagi deretan masalah berikutnya terkait upah buruh, dukungan perbankan, dan ketersediaan bahan baku. Dengan semua kondisi itu, kata Eddy, akibatnya pengusaha malas membangun pabrik. “ Mending jadi pedagang aja, impor, “ ujarnya.
Kondisi itu tidak hanya berlaku bagi investor baru, pengusaha yang ada pun enggan melakukan ekspansi. Daripada mengeluarkan duit untuk investasi mesin, mereka memilih mengimpor barang dari Chna. Sebagian pabriknya dijadikan gudang. Eddy menengarai sekitar 80 persen pemilik pabrik sepatu melakukan itu. Kalaupun ada pabrik yang masih bekerja, ia memperkirakan hanya 20 persen dari kapasitas.
Kendala-kendala itu membuat industri sepatu semakin sulit bersaing dengan China dan Vietnam. “ Kandungan impor sepatu produksi kita sampai 40 persen. Beda dengan China yang bisa penuhi bahan bakunya sendiri. Sementara kita kesulitan karena kebijakan perdagangan yang memberatkan industri bahan baku sebagai industri pendukung, “ kata Eddy.
Padahal, pada tahun 1980, produk sepatu Indonesia pernah menguasai 3 persen pangsa pasar dunia. Sekarang, posisi Indonesia melorot ke urutan ketiga setelah China dan Vietnam. Eddy mengatakan, Indonesia masih berpeluang unggul di produk sepatu nonolahraga, seperti sepatu kasual, sepatu wanita, dan sepatu pesta. “ Kekuatan kita ada pada ketelitian dan kerapian. Lebih unggul daripada China. Merek-merek ternama akan tetap melihat itu,” katanya.
Merek ternama
Merek ternama masih menjadi gantungan karena membuat merek sendiri tidak mudah, dibutuhkan banyak promosi yang memakan biaya besar. Pangsa lokal sepatu Indonesia nilainya mencapai Rp 25 triliun. Merek lokal menguasai sekitar 60 persen melalui merek-merek Carvil, Bata, Ardiles, dan Homyped. Porsi itu turun menjadi hanya sekitar 40 persen setelah masuknya barang China, Taiwan, Thailand, dan Malaysia.
Bukan hanya alas kaki, anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Eddy Soekwanto, mengatakan, saat ini industri rekstil dan garmen pun sedang dalam posisi bertahan dari sebuan produk China. “ Kita menunggu mukjizat. Kalau suatu saat kapasitas industri tekstil China penih, mereka pasti membagi ordernya ke Indonesia. Jadi kita pun sudah harus siap dengan investasi mesin dari sekarang, “ kata Eddy Soekwanto.
Opsi menggandeng China menjadi alternatif ketika infrastruktur dan kebijakan penduduk tidak tersedia seperti yang diharapkan. “ Perjanjian sudah kadung diteken. Kalau kita mengelak bisa kena penalti, produk kita dilarang masuk,” ujarnya.
Sumber :
FTA, Industri, dan Kelemahan Diplomasi – Doty Damayanti | Kompas, 21.12.2009
[Via http://hagemman.wordpress.com]
No comments:
Post a Comment